Senin, 13 Desember 2021

MENGEMBANKAN SEKOLAH MADRASAH IBTIDAIYAH (MI)

  Untuk memahami pembahasan tentang pengembangan Madrasah Ibtidaiyah (MI) terlebih dahulu akan dijelaskan tentang sekolah efektif. Sekolah efektif adalah sekolah yang mampu mendidik dan pengembangkan peserta didik sehingga potensi akademis dan perkembangan individu-sosial dapat teraktualisasi secara optimal. Jadi, ukuran keunggulan bukan hanya dilihat dari capaian – capaian yang bersifat akademis dan materialistik semata.


 
        Kelahiran dan proses pertumbuhan Madrasah Ibtidaiyah (MI) pada umumnya bermula dari penyelenggaraan pendidikan yang bersifat dasar yang berupa pengajian al-qur’an, sekolah arab atau tempat mengaji yang banyak tersebar dimasyarakat komunitas santri. Oleh karena itu, perlu penanganan tersendiri berkaitan asal usul dan evolusi Madrasah Ibtidaiyah (MI) dalam konteks kelembagaan pendidikan islam Indonesia.   

        Keunggulan MI bisa dipupuk dengan tenaga pendidik professional kompeten, penguatan jejaring madrasah, dan optimalisasi yayasan atau organisasi keagamaan yang menjadi payung MI.

    Salah satu alasan mengapa langkah derap madrasah tidak secepat perkembangan sekolah umum, menurut sebuah pengamatan, karena adanya beban ideologis dan psikologis pada diri sebagian intelektual muslim yang berimbas pada sikap para praktisi pendidikan madrasah. Beban ideologis tersebut terkait dengan penolakan terhadap ilmu umum yang dianggap sekuler. Sedangkan beban psikologis dalam bentuk perasaan rendah diri, ketakutan menghilangkan watak keislaman madrasah, dan kekhawatiran semakin rendahnya peran Kementerian Agama dalam pengelolaan madrasah.

        Alangkah baiknya apabila beban ideologis dan beban psikologis itu dapat dihilangkan dari pikiran dan hati para pemikir dan praktisi pendidikan madrasah, sehingga mereka dapat bergerak dan melaju dengan cepat. Hanya kelajuan dan kecepatan tinggi itulah madrasah dapat bersaing dan berdiri sama tinggi dengan lembaga pendidikan lain.

        Dengan keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri tentang mutu pendidikan madrasah, diperkuat dengan Undang – Undang Nomor 2 tahun 1989 dan disempurnakan dengan Undang- Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, kedudukan madrasah itu sudah kokoh dan mantap dalam rumpun pendidikan nasional. Sehingga tidak ada lagi penghalang dalam pengembangan madrasah. Yang masih tersisa mungkin adalah hambatan yang bersifat ideologis dan psikologi.

     Sangat disayangkan keterbukaan pemerintah untuk mengakomodasi keberadaan madrasah belum di tangkap sebagai sebuah peluang untuk mendongkrak kualitas madrasah. Harus diakui bahwa usaha meningkatkan kualitas madrasah bukan hal yang mudah. Sebab, sebagian Madrasah Ibtidaiyah (MI) berada dilingkungan pedesaan, muridnya berasal dari keluarga kurang mampu dan sebagian besar di kelola oleh yayasan. Kerumitan itu masih di tambah lagi dengan adanya krisis guru yang dialami Madrasah Ibtidaiyah (MI) dalam waktu dasawarsa ini.

          Dikatakan mengalami krisis guru, karena kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa guru PNS diperbantukan sudah memasuki pensiun masal sehingga tidak ada lagi guru PNS, kalau ada hanya 1 orang biasanya merangkap sebagai kepala sekolah. Untuk menutupi kekurangan tersebut, terpaksa merekrut guru bantu yang latar pendidikannya bukan berasal dari jalur pendidikan dan bergaji sangat minim. Melihat kondisi demikian, usaha memperluas kapasitas guru menjadi kunci utama membuka gerbang kemajuan Madrasah Ibtidaiyah (MI).

        Lahirnya jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) di perguruan – perguruan tinggi dapat membantu peningkatan kualitas guru Madrasah Ibtidaiyah (MI).

     Strategi Kementerian Agama dalam mengembangkan madrasah dilakukan melalui langkah – langkah sebagai berikut :

  1. Peningkatan mutu jenjang pendidikan pada perguruan agama islam sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi. 
  2. Pembinaan madrasah negeri diusahakan menjadi contoh bagi madrasah swasta terutama dalam soal mutu. 
  3. Pembinaan madrasah swasta diusahakan agar system pendidikannya selaras dengan system pendidikan nasional.

        Pola  itu cocok untuk  pengembangan SD di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional, tetapi tidak untuk pengembangan MI. Mengapa strategi itu tidak tepat sasaran? Pertama, jumlah Madrasah Ibtidaiyah Negeri yang menjadi rujukan atau model tidak banyak. Kedua, menempatkan MIN seolah – olah kualitasnya diatas MI harus dilakukan secara hati – hati. Bukan tidak mungkin, MI swasta justru lebih berkualitas dari pada MIN.

        Tugas KEMENAG mendorong, menstimulasi, dan memfasilitasi umat agar tergerak hatinya ikut memikirkan pengembangan madrasah. Kata kuncinya adalah mengaktualkan potensi umat islam dan  para pengelolanya harus didorong agar mampu berkreasi secara mandiri dengan melakukan terobosan baru.

        Cara perintisan dan penanganan MI diperkotaan tentu saja berbeda dengan yang ada di lingkungan pedesaan. Di mulai dengan pengembangan sekolah untuk wilayah perkotaan. Ciri masyarakat kota cenderung cair dan dinamis serta lebih mudah menerima perubahan. Beda dengan kondisi masyarakat pedesaan kita sering mendengar ungkapan “mau bersekolah saja sudah untung “ kondisi ini harus disikapi secara bijak dan penuh kreativitas. 

        Harus diakui bahwa usaha meningkatkan kualitas MI di desa jauh lebih rumit dibandingkan dengan MI diperkotaan. Oleh karena itu diperlukan kerja lebih keras dan cerdas ketika pengelola MI di pedesaan. Sumber daya guru amat terbatas, situasi masyarakat relatif kurang mampu ditambah kesadaran akan penting pendidikan yang amat rendah. Tantangan untuk MI swasta di pedesaan begitu rumit.pencarian sumber biaya alternatif dalam bentuk zakat, infaq, sedekah dan pengoptimalan tanah wakaf menjadi kata kunci untuk keluar dari lingkaran ini.

    Pemupukan MI unggulan harus ditopang oleh pengajar yang ikhlas dan handal. Pengelola dan pendidik MI dituntut kesungguhannya dalam menerima amanah dari orang tua untuk mendidik anak-anaknya dengan benar. Karena anak hakikatnya adalah amanah Allah SWT, maka pengelola dan pendidik MI memiliki tanggungjawab moral dan keagamaan untuk menunaikan amanah itu dengan sepenuh jiwa dan raga. Menjadi guru bukan sekedar menunggu pengangkatan PNS, atau sekedar mengisi waktu luang daripada menganggur. Jika pengelola dan pendidik MI menghayati betul amanat itu, maka tidak ada jalan kecuali bekerja keras untuk memajukan MI. Kalau ada kemauan, pasti Allah menunjukkan jalannya. 

 

Ali, Mohammad.2010.Reinvensi Pendidikan Muhammadiyah.Jakarta Selatan:Al-Wasat Publishing House.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar