PEMBAHASAN
1. Pengertian Paradigma Pendidikan
Memahami pendidikan Islam tidak semudah mengurai kata “Islam” dari kata “pendidikan”, karena selain sebagai predikat, Islam juga merupakan satu substansi dan subyek penting yang cukup kompleks. Islam sebagai agama universal telah memberikan pedoman hidup bagi manusia menuju kehidupan bahagia, yang pencapaiannya bergantung pada pendidikan. Musthofa Rahman mengatakan bahwa pendidikan merupakan kunci penting untuk membuka jalan kehidupan manusia. Dengan demikian, Islam sangat berhubungan erat dengan pendidikan. Hubungan antara keduanya bersifat organis-fungsional; pendidikan berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan Islam, (Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam.1999.) dan Islam menjadi kerangka dasar pengembangan pendidikan Islam, serta memberikan landasan sistem nilai untuk mengembangkan berbagai pemikiran tentang pendidikan Islam.
Islam menyediakan dasar-dasar untuk membangun sistem pendidikan yang sarat dengan sistem nilai. Dengan dasar-dasar itu diharapkan lahir sistem pendidikan yang mendukung, menjiwai, memberi corak dan bentuk proses pendidikan yang ideal serta bisa diterapkan dalam berbagai lembaga pendidikan.
Menurut Drs. Tedi Priatna, M.Ag pendidikan Islam mengisyaratkan adanya tiga macam dimensi dalam upaya mengembangkan kehidupan manusia, yaitu :
1. Dimensi kehidupan duniawi yang mendorong manusia sebagai hamba Allah untuk mengembagkan dirinya dalam ilmu pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai islam yang mendasari kehidupan.
2. Dimensi kehidupan ukhrawi yang mendorong manusia untuk mengembangkan dirinya dalam pola hubungan yang serasi dan seimbang dengan Tuhan. Dimensi inilah yang melahirkan berbagai usaha agar seluruh aktivitas manusia senantiasa sesuai dengan nilai-nilai Islam.
3. Dimensi hubungan antara kehidupan duniawi dan ukhrawi yang mendorong manusia untuk berusaha menjadikan dirinya sebagai hamba Allah yang utuh dan paripurna dalam bidang ilmu pengetahuan dan ketrampilan, serta menjadi pendukung dan pelaksana ajaran Islam.
Ketiga dimensi itu kemudian dituangkan dan dijabarkan dalam program oprasional pendidikan yag bermuara pada tujuan yang telah ditetapkan. Upaya memahami pendidikan Islam tidak bisa dilakukan hanya dengan melihat sepotong apa yang ditemukan dalam realitas penyelenggaraan pendidikan Islam, tapi harus melihatnya dari sistem nilai yang menjadi landasan paradigma. Hasan Langgulung pernah menyatakan : “sangat keliru jika kita mengkaji pendidikan Islam hanya dari lembaga-lembaga pendidikan yang muncul dalam sejarah Islam, dari kurikulum, apalagi hanya dari metode mengajar, dan melepaskan masalah ideologi Islam. Karena bagaimanapun, Islam sebenarnya telah membawa ideologi tertentu, yang sedikit banyak berbeda dengan ideologi lain. Ideologi ini terpantul dalam pendidikan Islam, yang kalau tidak kita pahami, niscaya mustahil memahami pendidikan Islam. Ungkapan di atas menjelaskan kedudukan dan fungsi ideologi atau paradigma dalam pendidikan Islam. Ideologi atau paradigma pendidikan Islam merupakan gambaran utuh tentang ketuhanan, alam semesta dan tentang manusia yang merupakan sumber penisbahan segala cabang, perincian serta dikaitkan dengan semua teori pendidikan Islam, sehingga semuanya berada di bawah satu kesatuan yang utuh dan menyeluruh.
Sebelum
memasuki pembicaraan tentang paradigma pendidikan Islam, ada baiknya untuk
menelusuri dan mengupas pengertian paradigma dari beberapa sisi. Menurut Ismail
SM, secara etimologis paradigma berasal dari bahasa Inggris, paradigm
berarti type of something, model, pattern (bentuk sesuatu, model, pola). Sedangkan
menurut Lorens Bagus paradigma berasal dari bahasa Yunani, dari kata para
yang artinya disamping atau di sebelah dam kata dekynai yang berarti
memperlihatkan. Murid Socrates dan guru Aristoteles juga pernah menyatakan,
“sesuatu yang diciptakan tentunya diciptakan untuk suatu sebab”.
Secara terminologis, menurut Ismail, SM paradigma berarti cara pandang atau cara berpikir tentang sesuatu. Dalam kamus filsafat, terdapat beberapa pengertian paradigma, diantaranya sebagai berikut :
- Cara memandang sesuatu.
- Dalam ilmu pengetahuan diartikan sebagai model, pola, ideal. Dari model-model ini berbagai fenomena dipandang dan dijelaskan.
- Totalitas premis-premis teoretis dan metodologis yang menentukan atau mendefinisikan suatu studi ilmiah kongkrit. Hal ini melekat dalam praktek kimia pada tahap-tahap tertentu.
- Dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahakan problem-problem riset. (Lorens, Ibid)
Untuk
memudahkan pemahaman kita tentang makna paradigma, Adrias Harefa menjelaskan
paradigma serta menghubungkannya dengan sikap dan perilaku seseorang. Ia
memperkaya penjelasannya dengan menggunakan metafora bangunan dan kacamata. Ia
menyatakan bahwa paradigma adalah pondasi sebuah bangunan. Besar atau tingginya
suatu bangunan ditentukan oleh seberapa kuat lebar, dan dalam pondasinya. Dalam
konteks ini, sikap adalah kerangka dari bangunan itu, yang bertumpu di atas
pondasi tersebut. Perilaku adalah bangunan itu sebagaimana tampak oleh mata
fisik. Baik paradigma maupun sikap, kedua-duannya tidak terlihat oleh mata
fisik (tersembunyi), prilakulah yang terbaca oleh orang lain.
Lain
lagi dengan Robert Friedrichs yang mengartikan paradigma sebagai suatu
pandangan mendasar dari suatu disiplin ilmu pengetahuan tentang pokok masalah
yang seharusnya dipelajari oleh disiplin ilmu tersebut, karena setiap ilmu
pengetahuan itu memiliki citra dasar tentang masalah pokoknya.
Perkembangan paradigma seiring dengan perkembangan cara pikir manusia dalam memahami kehidupannya. Sebagaimana konsensus terluas dalam setiap ilmu pengetahuan untuk membedakan antara komunitas ilmiah yang satu dengan yang lainnya, masing-masing ilmu memiliki paradigma tertentu. Paradigma itu menggolongkan, merumuskan, teori-teori, metode-metode dan perangkat pengamatan dalm metode itu. Varian paradigma mengisyaratkan perbedaan antara satu paradigma dengan paradigma lainnya. Perbedaan tersebut paling tidak disebabkan :
- Perbedaan pandangan filsafat yang menjadi dasar pemikiran bagi substansi ilmu atau cabang ilmu yang dipelajari.
- Akibat logis dari pandangan filsafat yang berbeda, maka teori-teori yang dibangun dan dikembangkan akan berbeda pula.
- Perbedaan
metode yang digunakan untuk memahami substansi suatu ilmu.
Kelahiran konsep paradigma berawal dan berkembang dari pemikiran dramatis tradisi ilmu pengetahuan, namun dewasa ini pemaknaan paradigma menjadi bagian integral dan transformasi kultural yang lebih besar. Oleh sebab itu penggunaan paradigma tidak hanya berlangsung dalam tradisi ilmu pengetahuan, tetapi sudah merambah ranah sosial.
2. Implikasi Paradigma terhadap Sistem Pendidikan
Paradigma pendidikan berkembang pada setiap masanya yang meniscayakan adanya sikap kooperatif sekaligus kompetitif. Bahkan, sesuai dengan watak era globalisasi sekarang, ragam paradigma pendidikan mengalami tarik ulur kepentingan dan konflik satu dengan yang lainnya. Berkenaan dengan ini Mnsour Fakih menganalisis fenomena pendidikan formal dalam kaitannya dengan pertikaian ideologi/paradigma pendidikan.
Paradigma merupakan ruh dan bingkai konseptual dari suatu sistem pendidikan. Paradigma sangat jelas memberikan pengaruh pada sistem pendidikan itu sendiri. Neil Postman mengakui bahwa tanpa paradigma yang jelas, pendidikan seperti kehilangan Tuhan-Tuhan untuk disembah. Baginya paradigma merupakan medium narasi yang tidak akan pernah berhenti menciptakan sejarah dan masa depan manusia. Ia dengan tegas menyatakan bahwa tanpa sebuah narasi, hidup tak akan bermakna. Dan tanpa makna, belajar tak akan memiliki tujuan. Tanpa sebuah tujuan, sekolah adalah rumah-rumah tahanan. Oleh karenanya, paradigma pendidikan menjadi satu keniscayaan sebagai cara berpikir atau sketsa pandang menyeluruh yang mendasari rancang bangun suatu sistem pendidikan.
Untuk memahami keberpengaruhan tersebut, Giroux dan Aronowitz (1985), aliran paradigma pendidikan terbagi tiga aliran, yaitu paradigma konservatif, liberal dan kritis. Sedangkan O’Neill memaparkan enam ideologi pendidikan, yakni : tiga ideologi konservatif (fundamentalisme, intelektualisme, dan konservatifme pendidikan), dan tiga ideologi liberal (liberalisme pendidikan, libersionisme pendidikan, dan anarkisme pendidikan).
a). Paradigma Konservatif
Bagi
kaum konservatif, ketidak sejajaran masyarakat merupakan suatu keharusan hukum
alam, suatu hal yang mustahil dihindari, serta seakan sudah menjadi ketentuan
sejarah atau bahkan takdir Tuhan. perubahan sosial bagi mereka bukanlah suatu
yang harus diperjuangkan, karena perubahan hanya akan membuat manusia lebih
sengsara. Dalam bentuknya yang klasik atau awal, paradigma konservatif dibangun
berdasarkan keyakinan bahwa masyarakat pada dasarnya tidak bisa merencanakan
perubahan atau mempengaruhi perubahan sosial, hanya Tuhanlah yang merencanakan
keadaan masyarakat dan hanya Dia yang tahu makna dibalik itu semua.
Namun dalam perjalanan selanjutnya, paradigma konservatif cenderung lebih menyalahkan subyeknya. Bagi kaum konservatif, mereka yang menderita, menjadi demikian karena salah mereka sendiri. Karena toh banyak orang lain yang ternyata bisa bekerja keras dan berhasil meraih sesuatu. Banyak orang kesekolah dan belajar untuk berperilaku baik dan karenanya tidak masuk penjara. Kaum miskin harus bersabar dan belajar untuk menunggu sampai giliran mereka datang, karena pada akhirnya kelak semua orang akan mencapai kebebasan dan kebahagiaan. Kaum konservatif sangat mementingkan harmoni dalam masyarakat serta menghindarkan konflik (Ibid).
b). Paradigma Liberal
Pandangan kaum liberal, berangkat dari keyakinan bahwa memang ada masalah dalam masyarakat tetapi bagi mereka pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi masyarakat. Dengan keyakinan seperti itu, tugas penddidikan juga tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan politik dan ekonomi.
Sungguh pun demikian, kaum liberal selalu berusaha untuk menyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar dunia pendidikan, dengan jalan memecahkan berbagai masalah yang ada dalam pendidikan dengan usaha reformasi.
c). Paradigma Kritis
Pendidikan bagi kaum kritis merupakan arena perjuangan politik. Jika bagi kalangan konservatif pendidikan bertujuan untuk menjaga status, sementara bagi kaum liberal untuk merubah moderat, maka paradigma kritis menghendaki struktural secara mendasar dalam politik ekonomi masyarakat, tempat pendidikan berada. Bagi mereka, kelas dan diskriminasi gender dalam masyarakat tercermin pula dalam dunia pendidikan. Paham ini bertentangan dengan pandangan kaum liberal yang menganggap pendidikan sebagai terlepas dari persoalan kelas dan gender yang ada dalam masyarakat. Dalam perspektif kritis, tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidak adilan. Visi pendidikan adalah melakukan kritik terhadap sistem dominan sebagai pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas untuk menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis guna terciptanya transformasi sosial. Dengan kata lain, tugas utama pendidikan adalah ‘memanusiakan’ kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena sisitem dan struktur yang tidak adil.
3. Konsep Pendidikan Islam
Untuk memahami konsep pendidikan Islam, perlu ditegaskan kembali bahwa kata Islam merupakan kata kunci yang berfungsi sebagai sifat, penegas dan pemberi ciri khas pada kata pendidikan. Dengan demikian, pengertian pendidikan Islam berarti pendidikan yang secara khas memiliki ciri islami, yang dengan ciri khas itu ia membedakan dirinya dengan model pendidikan lainnya.
Istilah
pendidikan dalam konteks Islam telah banyak dikenal dengan menggunakan term
yang beragam, yaitu at-tarbiyyah, at-ta’lim, at-ta’dib. Masing-masing memiliki
makna dan pemahaman yang berbeda, walaupun memiliki kesamaan makna dalam
beberapa hal tertentu. At-tarbiyah diturukan dari akar kata ar-rabb yg oleh
sebagian ahli diartikan sebagai tuan, pemilik, memperbaiki, merawat dan
memperindah. Ibnu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi
mengartikan ar-rabb dengan makna pemilik, yang maha memperbaiki, yang maha
pengatur, yang maha menambah, yang maha menunaikan. Sedangkan Al-Jauhari
mengartikan at-tarbiyyah, rabban dan rabba dengan memberi makan, memelihara dan
mengasuh. Maka, at-tarbiyyah memiliki arti mengasuh, memperbaiki, memberi
makan, merawat, menambah, memelihara dan menunaikan.
Sedangkan dalam hadits Nabi SAW,
digunakan istilah rabbaniyyin dan rabbani sebagaimana tercantum dalam hadits
yang artinya : “Jadilah kamu para pendidik yang penyantun, ahli fiqh, dan
berilmu pengetahuan. Seseorang disebut rabbani jika ia telah mendidik manusa
dengan ilmu pengetahuan, dari sekecil-kecilnya sampai menuju yang lebih tinggi“
(HR. Bukhari dari Ibn ‘Abbas)
Selanjutnya,
istilah ta’lim berasal dari kata ‘allama yang berarti proses transmisi ilmu
pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu.
Pengertian itu didasarkan atas firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 31 yang
artinya : “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama benda seluruhnya kemudian
mengemukakan kepada malaikat lalu berfirman : Sebutkalah kepadaku nama-nama
benda itu jika memang kamu orang-orang yang benar.” Muhammad Naquib Al-Attas
mengartikan kata ta’lim sebagai proses pengajaran tanpa adanya pengenalan
secara mendasar.
Adapun
istilah ta’dib menurut Daud mengandung pengertian sebagai proses pengenalan dan
pengakuan secara berangsur-angsur yang ditanamkan dalam diri manusia tentang
tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan,
kemudian membimbing dan mengarahkannya kepada pengakuan dan pengenalan
kekuasaan dan keagungan Tuhan didalam tatanan wujud keberadaan-Nya.
Pada
Konverensi Internasional Pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh Universitas
King Abdul Aziz di Jeddah pada tahun 1977, merekomendasikan bahwa pendidikan
Islam ialah keseluruhan pengertian yang terkandung dalam makna ta’lim, ta’dib
dan tarbiyyah. Pada konteks ini, dapat diajukan beberapa definisi pendidikan
Islam, di antaranya sebagaimana diungkapkan oleh Ahmad Supardi bahwa pendidikan
Islam adalah pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam atau tuntunan agama Islam
dalam membina dan membentuk pribadi muslim yang bertaqwa kepada Allah SWT,
cinta kasih pada orang tua dan sesama hidupnya, juga kepada tanah airnya,
sebagai karunia Allah SWT. Sedangkan Ahmad Tafsir memaknai pendidikan Islam
sebagai bimbingan yang diberikan seseorang secara maksimal sesuai dengan ajaran
Islam.
Selain
itu, Ahmad D. Marimba mengartikan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan
jasmani dan ruhani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya
kepribadian utama menurut ketentuan-ketentuan Islam. Yang dimaksud dengan
kepribadian utama adalah kepribadian orang muslim, yaitu kepribadian yang
sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Dari beberapa batasan dan pengertian pendidikan di atas, secara implisit dapat dipahami bahwa pendidikan Islam adalah aktivitas bimbingan yang disengaja untuk mencapai kepribadian muslim, baik yang berkenaan dengan dimensi jasmani, ruhani, akal, maupun moral. Pendidikan Islam adalah proses bimbingan secara sadar seorang pendidik sehingga aspek jasmani, ruhani dan akal anak didik tumbuh dan berkembang menuju terbentuknya pribadi, keluarga dan masyarakat yang Islami.
4. Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia
Haminton Alexander Rosskeen (H.A.R) Gibb menyatakan : “Islam is indeed much more than a system of theology, it is complete civilization.” Bagi M. Natsir, pendapat H.A.R. Gibb merupakan pengakuan secara jujur dari kalangan luar terhadap keluasan Islam yang di samping memuat pembahasan yang berkaitan dengan persoalan ketuhanan dan ibadah Islam, H.A.R. Gibb juga memuat sistem peradaban yang lengkap. Alih- alih peradaban sebagai salah satu bagian ajaran Islam, G.E.von Grunebaum menegaskan bahwa ajaran Islam adalah peradaban, dan peradaban adalah Islam. Intelektual muslim di era sekarang, M. Dawam Rahardjo juga turut memberikan komentar. Dengan pendapatnya itu, kata Rahardjo (1985), H.A.R. Gibb tidak bermaksud memberikan redefinisi tentang Islam, tetapi untuk menggambarkan Islam dalam sejarah, yaitu Islam sebagaimana yang terpantul dalam gejala sejarah. Di samping itu pula, dengan pernyataan tersebut, H.A.R. Gibb ingin menggambarkan Islam sebagai kekuatan peradaban dalam sejarah umat Islam yang panjang semenjak kelahirannya.
Munculnya Islam sebagai kekuatan peradaban sebagaimana dikatakan H.A.R. Gibb, tentu tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang terberikan begitu saja dari ‘langit’, tetapi tidak terlepas dari upaya sistematis yang dilakukan oleh umat Islam terutama kalangan terdidiknya yang mengkontruksi Islam dan menghadapkannya dengan realitas sejarah. Dengan demikian, dalam proses menjadikan Islam sebagai kekuatan peradaban, pemikiran Islam, sebagai refleksi intelektual yang sistematis dalam menanggapi permasalahan indiviual, sosial-politik, ekonomi dan kebudayaan dari perspektif ajaran Islam memiliki posisi penting.(Ihsan Ali-Fauzi, 1991). Oleh karena itu banyak kalangan yang menaruh perhatian serius terhadap pemikiran Islam sebagai salah satu bidang kajian dalam skema penelitian agama.
Dalam skema kajian Islam, Islam di Indonesia bersama Islam di Asia Tenggara, sering ditempatkan sebagai Islam yang berada di wilayah pinggiran. Dengan posisi di pinggiran tersebut, Islam di Indonesia sering pula dinilai bukan “Islam yang sebenarnya” (Azyumardi Azra, 1999). Secara numerik, jika dibandingkan Islam dikawasan pusat sekalipun, seperti Saudi Arabia sebagai tempat lahirnya Islam, jumlah pemeluk Islam di Indonesia adalah yang terbesar. Tetapi ternyata belum dipandang cukup untuk menjelaskan keunggulan Islam di Indonesia dibandingkan dengan Islam dikawasan lainnya. Islam di Indonesia dinilai pihak luar memiliki banyak titik lemah. Salah satu titik lemah yang banyak mendapat sorotan adalah tradisi intelektual atau pemikiran Islam. Letak geografis yang di pinggiran, ditambah dengan kedatangan Islam yang lebih belakangan, perlu dimasukkan sebagai penyebb kelemahan tradisi intelektual di Indonesia. Nurcholish Madjid mencoba bersikap jujur dengan historis tersebut.
Kendati dari sisi tradisi intelektual belum bisa dikatakan maju, tidak berarti Islam di Indonesia tidak memiliki dinamika. Bagi Madjid, pembaharuan pemikiran Islam merupakan sebuah imperatif kendati di sisi lain berpotensi menimbulkan ancaman terhadap integrasi umat Islam. Demikian pidato tersebut, Madjid disebut sebagai lokomotif pembaruan Islam di era kontemporer. Tetapi yang perlu ditekankan di sini adalah pemikiran Islam yang lebih bernuansa pembaruan atau reformis, perlu diapresiasikan sebagai salah satu upaya menghadirkan Islam sebagai peradaban seperti ungkapan H.A.R. Gibb di atas. (Syamsul Arifin, 2009)
PENUTUP
Kesimpulan
Paradigma adalah cara pandang atau model terhadap sesuatu. Pendidikan Islam menurut bahasa dapat diartikan sebagai pembinaan, pimpinan, pemeliharaan, dsb. Sedangkan menurut istilah pendidikan Islam adalah serangkaian aktivitas manusia untuk menjadikan kepribadian manusia yang sesuai dengan Islam atau lebih singkatnya adalah pembentukan kepribadian muslim. Paradigma pendidikan Islam adalah cara pandang atau model pembelajaran untuk membentuk kepribadian muslim. Paradigma konservatif adalah sekelompok orang yang memandang bahwa hidup ini sudah ada yang menentukan, jadi dengan pendidikan kita hanya bisa berusaha dan mereka memntingkan harmoni dalam masyarakat. Paradigma liberal adalah kelompok yang memandang bahwa pendidikan tidak ada hubungannya dengan ekonomi dan politik tapi mereka tetap menyesuaikan pendidikan dengan ekonomi dan politik yang ada pada waktu itu. Paradigma kritis adalah sekelompok orang yang menganggap pendidikan itu sebagai suatu cara untuk meraih keadilan.
Saran
Pradigma dalam pendidikan terutama pendidikan sangatlah penting, jadi kita harus benar-benar berusaha bagaimana caranya agar pendidikan Islam itu dapat diterima oleh anak didik.
DAFTAR PUSTAKA
Priatna, Tedi. 2004. Reaktulasi Paradigma Pendidikan Islam. Bandung : Pustaka Bani Quraisy.
Arifin, Syamsul. 2009. Studi Agama Perspektif Sosiologi dan Isu-Isu Konteporer. Malang : UMM Press.
Daradjat, Zakiah. 2006. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara.
Tafsir, Ahmad. 1992. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung : Remaja Rosda Karya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar